Sastra Sebagai Sebuah Dunia

Pascale Casanova
Penerjemah: Noor Cholis
Pelanggan: Tuhan membuat dunia hanya dalam enam hari dan kamu, kamu tak bisa membuatkan aku celana panjang dalam enam bulan!
Penjahit: Tapi, bos, lihat dunia, dan lihat celanamu.
dikutip oleh Samuel Beckett

Jauh, jauh darimu sejarah dunia membentang, sejarah dunia jiwamu.
Franz Kafka

Tiga pertanyaan. Mungkinkah menjalin kembali ikatan yang sudah hilang antara sastra, sejarah dan dunia, sambil tetap memelihara pengertian penuh tentang keunikan teks-teks sastra yang mustahil ditawar? Kedua, bisakah sastra itu sendiri dipahami sebagai sebuah dunia? Kalau bisa, mungkinkah penjelajahan atas wilayahnya akan membantu kita menjawab pertanyaan nomor satu?

Dirumuskan secara lain: mungkinkah menemukan sarana-sarana konseptual yang bisa dipakai untuk menandingi postulat sentral kritik sastra internal berbasis teks—keterpenggalan total antara teks dan dunia? Bisakah kita mengusulkan suatu perangkat teoretis dan praktis yang sanggup melawan prinsip baku otonomi teks, atau independensi yang dianggap melekat pada wilayah linguistik? Sampai sekarang jawaban-jawaban yang diberikan bagi pertanyaan krusial ini, antara lain dari teori pascakolonial, bagi saya nampak hanya membangun kaitan terbatas antara dua domain yang diandaikan tak terbandingkan. Pascakolonialisme mengasumsikan adanya sebuah kaitan langsung antara sastra dan sejarah, kaitan yang semata-mata berwatak politis. Dari sini, ia beranjak menuju sebuah kritik eksternal yang berisiko mereduksi sastra menjadi politis semata, melakukan serangkaian aneksasi atau potong kompas, dan sering diam-diam mengabaikan estetika aktual, karakteristik formal atau stilistik yang sesungguhnya ‘membentuk’ sastra.
Saya ingin mengajukan sebuah hipotesis yang akan bergerak melampaui pembagian antara kritik internal dan eksternal ini. Kita anggap saja ada sebuah ruang mediasi antara sastra dan dunia: sebuah wilayah paralel, relatif otonom dari domain politik, dan dikhususkan untuk berbagai pertanyaan, perdebatan, penciptaan sebuah alam yang khas sastra. Di sini, segala macam pertarungan—politis, sosial, nasional, gender, etnis—dibiaskan, dicairkan, dibongkar dan diubah menurut sebuah logika kesusastraan, dan dalam bentuk-bentuk kesusastraan. Bertolak dari hipotesis ini, sambil berupaya membayangkan semua konsekuensi teoretis dan praktisnya, kita bisa mulai menempuh sebuah perjalanan kritik yang bersifat internal maupun eksternal; dengan kata lain, sebuah kritik yang bisa memberikan penjelasan tunggal tentang, katakanlah, evolusi bentuk-bentuk puitis, atau estetika novel, dan hubungannya dengan dunia politik, ekonomi dan sosial—termasuk menerangkan bagaimana, dengan proses amat panjang (bahkan historis), jalinan itu mulai retak di daerah-daerah paling otonom di ruang antara ini.
Jadi: ada sebuah dunia yang lain, yang pembagian dan perbatasan-perbatasannya relatif mandiri dari batas-batas politik dan linguistik. Dengan hukum-hukumnya sendiri, sejarahnya sendiri, pergolakan dan revolusi khasnya, ia adalah sebuah pasar di mana nilai-nilai non-pasar diperdagangkan, dalam sebuah perekonomian non-ekonomi; dan dinilai, sebagaimana akan kita saksikan, dengan sebuah timbangan estetis waktu. Umumnya Dunia Sastra ini bergerak tak kasatmata, kecuali bagi mereka yang berada sangat jauh dari pusat-pusatnya dan terhalang dari sumber daya-sumber dayanya; merekalahyang bisa melihat lebih jelas bentuk-bentuk kekerasan dan dominasi yang beroperasi di dalamnya.
Kita sebut saja kawasan mediasi ini ‘ruang kesusastraan dunia’. Sebetulnya ini tidak lebih dari alat yang harus diuji dengan penelitian konkret, sebuah instrumen yang bisa memberikan penjelasan tentang logika dan sejarah sastra, tanpa harus terjatuh ke dalam perangkap otonomi total. Ini juga merupakan sebuah ‘model hipotesis’ dalam pengertian Chomsky—sekumpulan pernyataan yang elaborasinya (sekalipun berisiko) bisa membantu dirinya sendiri merumuskan objek deskripsi secara lebih baik; yakni, seperangkat proposisi yang koheren secara internal.[1] Bertolak dari sebuah model, akan lahir sebuah kebebasan tertentu dari sesuatu yang “diterima begitu saja”. Selain itu, hal tersebut memberi kita peluang mengkonstruksi setiap kasus baru; dan setiap kasus itu menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa eksis dalam isolasi, sebab ia adalah sebuah peristiwa khusus dari sesuatu yang mungkin, sebuah unsur dalam sebuah kelompok atau keluarga, yang tidak bisa kita lihat tanpa merumuskan terlebih dahulu sebuah model abstrak dari segala hal yang mungkin.
Alat konseptual ini bukan ‘sastra dunia’ itu sendiri—yaitu sekumpulan sastra berskala dunia, yang dokumentasi dan eksistensinya sekalipun sebenarnya masih tetap problematis—melainkan sebuah ruang: seperangkat posisi kait-mengait, yang harus dipikirkan dan dipaparkan dalam batasan relasional. Yang dipersoalkan bukan modalitas untuk menganalisis sastra dalam skala dunia, tetapi sarana konseptual untuk memikirkan sastra sebagai sebuah dunia.
Dalam kisahnya, ‘The Figure in the Carpet’—ditulis sangat baik untuk mengangkat soal penafisran dalam sastra—Henry James menggunakan metafora bagus permadani Persia. Dipandang sekilas atau terlalu dekat, permadani itu hanya menampilkan jalinan kusut corak dan warna sembarangan yang tak terurai; tetapi dari sudut yang tepat, serta merta karpet itu menyodori pengamat yang cermat ‘kombinasi pas’ dari ‘kompleksitas yang menakjubkan’—serangkaian motif tertata yang hanya bisa dipahami dalam hubungan satu sama lain, dan itu hanya terlihat ketika dipahami dalam totalitas, dalam saling ketergantungan dan interaksi timbal balik rangkaian itu.[2] Setelah dilihat sebagai sebuah konfigurasi—meminjam istilah Foucault dalam Les Mots et les choses—yang menyusun corak dan warna, maka barulah keberaturan, variasi, repetisi karpet itu bisa dipahami; koherensinya maupun hubungan-hubungan internalnya. Tiap gambar hanya bisa dimengerti sehubungan dengan posisi yang ditempati dalam keseluruhan, dan kesalingterkaitannya dengan gambar-gambar lainnya.
Metafora karpet Persia itu meringkas dengan sempurna pendekatan yang dikemukakan di sini: menggunakan sebuah perspektif berbeda, menggeser sudut pandang lazim dalam melihat sastra. Tidak melulu memusatkan perhatian pada koherensi global karpet, melainkan lebih menunjukkan bahwa, bertolak dari sebuah pemahaman atas pola keseluruhan desain, dimungkinkan memahami setiap motif, setiap warna dalam setiap detail terkecil; jelasnya, setiap teks, setiap pengarang, berdasarkan kedudukan relatif mereka dalam struktur yang sangat besar ini. Maka tujuan saya adalah mengembalikan koherensi struktur global di mana teks terlihat, dan yang hanya bisa dilihat dengan menempuh rute yang nampaknya paling jauh: melalui wilayah luas tak kasatmata yang saya sebut ‘Republik Sastra Dunia’. Tetapi ini dilakukan hanya untuk kembali ke teks-teks itu sendiri, dan untuk menyediakan alat baru dalam membaca mereka.
Kelahiran Sebuah Dunia
Ruang sastra ini tentu tidak menyeruak begitu saja dengan konfigurasinya yang sekarang ini. Ia muncul sebagai produk sebuah proses historis, lalu tumbuh secara progresif menjadi lebih otonom. Tanpa mengungkap detail, bisa kita katakan ruang itu muncul di Eropa pada abad ke-16. Perancis dan Inggris membentuk daerah-daerah tertuanya. Ruang itu dimantapkan dan diperluas ke Eropa tengah dan timur pada abad ke-18 dan khususnya pada abad ke-19, didorong oleh teori kebangsaan Herderian. Ruang itu mengembang selama abad ke-20, terutama lewat proses dekolonisasi yang terus berlangsung. Berbagai manifesto yang memproklamirkan hak eksistensi atau kemerdekaan sastra terus bermunculan, sering terkait dengan gerakan nasional penentuan nasib sendiri. Walaupun ruang sastra boleh dikata terwujud di mana-mana di dunia, unifikasinya di seluruh planet masih jauh dari rampung.
Mekanisme berfungsinya semesta sastra ini berlawanan secara diametral dengan yang umumnya dipahami sebagai ‘globalisasi sastra’—lebih pas didefinisikan sebagai penggelembungan jangka pendek keuntungan penerbit di pusat-pusat yang kuat dan paling berorientasi pasar melalui pemasaran produk-produk yang ditujukan bagi sirkulasi ‘de-nasionalisasi’ yang cepat.[3] Kesuksesan buku jenis ini di lapisan terdidik Barat—merepresentasikan tidak lebih dari pergeseran sastra stasiun kereta api ke sastra bandara—menyuburkan keyakinan tentang adanya proses berkelanjutan penjinakan sastra: normalisasi dan standardisasi progresif berbagai tema, bentuk, bahasa dan jenis cerita di seluruh permukaan bumi. Pada kenyataannya, ketimpangan struktural dalam dunia sastra memunculkan serangkaian pergumulan, persaingan dan pertentangan spesifik atas sastra itu sendiri. Justru lewat benturan-benturan inilah proses unifikasi berkesinambungan ruang sastra menjadi terlihat.
Stockholm dan Greenwich
Salah satu indikator objektif eksistensi ruang sastra dunia ini adalah kepercayaan yang (nyaris) bulat pada universalitas Hadiah Nobel untuk sastra. Signifikansi yang disandangkan pada penghargaan ini, diplomasi ganjil yang terlibat di dalamnya, harapan-harapan nasional yang ditimbulkannya, popularitas kolosal yang disodorkannya; bahkan (yang terpenting?) kritik tahunan terhadap juri Swedia yang dianggap tidak objektif, dugaan prasangka-prasangka politisnya, kekeliruan estetisnya—semuanya berjalinan menjadikan kanonisasi tahunan ini sebagai sebuah hajatan global bagi para pelaku ruang sastra. Saat ini Hadiah Nobel adalah salah satu dari segelintir penobatan kesusastraan internasional yang sebenar-benarnya, sebuah laboratorium unik bagi penamaan dan definisi atas apa yang universal dalam sastra.[4] Gaung yang diciptakannya setiap tahun, harapan-harapan yang timbul, keyakinan-keyakinan yang menggugah semuanya, meneguhkan kembali eksistensi sebuah dunia sastra yang merentang nyaris menjangkau seluruh planet ini, dengan mode perayaannya sendiri, yang otonom—tidak terikat, atau setidak-tidaknya tidak terikat langsung, pada kriteria politis, linguistik, nasional, nasionalis atau komersial—dan global. Dalam pengertian ini, Hadiah Nobel adalah indikator primer objektif eksistensi sebuah ruang sastra dunia.[5]
Indikator lain—lebih tidak mudah diamati—adalah keberadaan sebuah ukuran spesifik waktu, yang berlaku umum bagi semua pemain. Setiap pendatang baru sejak awal harus memahami sebuah titik referensi, sebuah norma yang akan dipakai untuk mengukurnya; semua posisi terletak secara relatif dari pusat di mana kekinian sastra ditetapkan. Saya usulkan untuk menyebut itu Garis Bujur Greenwich sastra. Persis seperti garis imajiner geografis itu yang, meski dipilih secara manasuka guna menetapkan garis-garis bujur, telah menyumbang bagi pengorganisasian riil dunia dan memungkinkan pengukuran jarak serta perkiraan posisi di seluruh permukaan bumi, begitu pula garis bujur kesusastraan memungkinkan kita mengira-ngira jarak dari pusat protagonis dalam ruang sastra. Inilah tempat di mana pengukuran waktu kesuasastraan—tegasnya, penilaian modernitas estetis—dikristalisasi, dipertanyakan, dielaborasi. Yang dianggap modern di tempat ini, pada momen tertentu, akan dinyatakan sebagai ‘kini’: teks-teks itu akan “menjadi penanda”, mampu memodifikasi norma-norma estetis yang berlaku. Karya-karya itu berfungsi, untuk sementara sekurang-kurangnya, sebagai unit pengukuran dalam sebuah kronologi spesifik, model-model perbandingan bagi produksi-produksi berikutnya.
Ditabalkan sebagai ‘modern’ adalah salah satu bentuk pengakuan paling sulit bagi para penulis di luar pusat, dan ini sungguh persaingan yang keras dan getir. Octavio Paz dengan cemerlang memaparkan perjuangan aneh ini dalam pidato penerimaan Hadiah Nobelnya, yang berjudul, pas sekali, Mencari Yang Kini (In Search of the Present). Dia menggambarkan perjalanan personal dan puitisnya sebagai sebuah pencarian gila-gilaan—dan sukses, sebagaimana dikukuhkan dengan penerimaan penghargaan tertinggi sastra itu—sebuah kekinian kesusastraan, yang dari situ pagi-pagi sudah disadarinya bahwa, sebagai orang Meksiko, secara sruktural dia amat jauh.[6] Teks-teks yang dianugerahi status modern menciptakan kronologi sejarah kesusastraan, menurut sebuah logika yang bisa sangat berbeda dari yang berlaku di dunia sosial lainnya. Misalnya, ketika Ulysses Joyce dinobatkan sebagai sebuah karya ‘modern’ oleh terjemahan bahasa Perancis Valéri Larbaud tahun 1929, lalu menangguk berbagai ulasan dan perhatian kritis yang sebelum itu selalu menjauh dalam bahasa Inggris, ia lantas menjadi—dan tetap demikian, di daerah-daerah tertentu ruang kesusastraan—salah satu pengukur modernitas novel.
Temporalitas
Modernitas adalah, tentu saja, sebuah entitas yang tidak stabil: sebuah lokus pertarungan permanen, sebuah penetapan yang kurang lebihnya disuratkan akan cepat kedaluwarsa, dan merupakan salah satu prinsip perubahan di jantung ruang kesusastraan dunia. Siapa saja yang menghendaki modernitas, atau yang berusaha meraih kendali monopoli atas atribusinya, maka ia terlibat dalam klasifikasi dan de-klasifikasi konstan karya—di mana teks gampang menjadi bekas modern atau klasik baru. Penggunaan berulang-ulang metafora temporal dalam kritik, misalnya dengan enteng menyatakan karya sebagai ‘ketinggalan zaman’ atau ‘tidak mode’, arkaik atau inovatif, anakronistis atau dijiwai ‘semangat zaman’, merupakan salah satu tanda paling jelas dari berfungsinya mekanisme-mekanisme tersebut. Ini menjelaskan, setidak-tidaknya untuk sebagian, latar permanennya istilah ‘modernitas’ dalam gerakan dan proklamasi kesusastraan sekurang-kurangnya sejak 1850—dari modernisme berlainan Eropa dan Amerika Latin, lewat futurisme Italia dan Rusia, hingga beraneka ragam posmodernisme. Tak terbilang klaim atas ‘kebaruan’—‘Nouveau Roman’, ‘Nouvelle Vague’ dan lain sebagainya—itu semua menganut prinsip yang sama.
Karena kegoyahan inheren prinsip ‘modernitas’, sebuah karya yang dinyatakan modern disuratkan menjadi ketinggalan zaman kecuali kalau ia dinaikkan ke kategori ‘klasik’. Melalui proses ini, sebagian karya bisa lolos dari perubahan mendadak pendapat dan perselisihan menyangkut nilai realtif mereka. Dalam jagat kesusastraan, sebuah karya klasik berada di atas persaingan temporal (dan ketimpangan spasial). Di lain pihak, praktek-praktek yang jauh dari kekinian kesusastraan, yang tentunya dibentuk oleh keseluruhan sistem penobatan di pusat, akan dinyatakan sangat ketinggalan zaman. Misalnya, novel naturalis masih diproduksi di zona-zona terjauh dari Garis Bujur Greenwich (entah itu ruang-ruang kesusastraan pinggiran atau daerah-daerah paling komersial pusat), walaupun itu sudah lama tidak dianggap ‘modern’ oleh berbagai otoritas otonom. Kritikus Brazil Antonio Candido menyatakan:
yang perlu diperhatikan di Amerika Latin adalah bagaimana karya-karya yang anakronis bisa secara estetis dianggap sahih … Inilah yang terjadi dengan naturalisme dalam novel, yang tiba agak terlambat dan yang tetap mempertahankan diri hingga sekarang tanpa keterputusan mendasar dalam kontinuitas … Sehingga, ketika naturalisme sudah menjadi sekadar sisa-sisa sebuah genre ketinggalan zaman di Eropa, di antara kita ia masih bisa menjadi unsur formula sastra yang sah, seperti novel sosial 1930-an dan 40-an.[7]
Pertarungan estetis-temporal macam ini sering dilangsungkan lewat perantaraan pihak-pihak yang punya kepentingan dalam ‘penemuan’ pengarang dari luar negeri. Ibsen, orang Norwegia itu, dinobatkan sebagai salah satu dramawan terbesar Eropa kurang lebih secara serempak di Paris dan London, sekitar tahun 1890. Karyanya, diberi label ‘realis’, menjungkirbalikkan semua praktek teatrikal, penulisan, dekorasi, bahasa dan dialog, mendorong lahirnya revolusi orisinal dalam teater Eropa. Penobatan internasional penulis lakon dari sebuah negara yang belum lama merdeka, yang bahasanya jarang dipakai (dan karena itu jarang diterjemahkan) di Perancis dan Inggris, dipastikan lewat tindakan beberapa perantara—Bernard Shaw di London, André Antoine dan Lugné-Poe di Paris. Mereka ini punya rencana sendiri ‘memodernkan’ teater di negeri mereka masing-masing, melampaui kepengapan, menetapkan norma-norma vaudeville dan drama borjuis yang berlaku di London dan Paris, dan mencuatkan nama mereka sebagai dramawan dan produser.[8] Di Dublin tahun 1900, Joyce pada gilirannya memanfaatkan estetika cemerlang dan kebaruan tematik karya Ibsen itu dalam pertarungan melawan teater Irlandia, yang dalam pandangannya, terancam hendak menjadi ‘terlalu Irlandia’.
Hal yang persis sama berlaku pada Faulkner. Setelah disanjung-sanjung sejak 1930-an sebagai salah seorang novelis paling inovatif abad itu,[9] Faulkner menjadi ukuran inovasi novel setelah menerima Hadiah Nobel pada tahun 1950. Menyusul penobatan internasionalnya, karya Faulkner memainkan peran ‘akselerasi temporal’ untuk banyak sekali novelis dari periode berbeda, di negara-negara yang secara struktural bisa dibandingkan, dalam hal ekonomi dan kultural, dengan Amerika Selatan. Semuanya menyatakan secara terbuka pemanfaatan mereka (setidak-tidaknya dalam pengertian teknis) akselerator Faulkenrian ini. Di antara novelis itu adalah Jean Benet di Spanyol tahun 1950-an, Gabriel García Márquez di Kolombia dan Mario Vargas Llosa di Peru pada tahun 1950-an, Kateb Yacine di Aljazair tahun 1960-an, António Lobo-Antunes di Portugal tahun 1970-an, Edouard Glissant di Antilles Perancis tahun 1980-an, dan sebagainya.

Melihat Lewat Perbatasan
Tetapi mengapa perlu mulai dari hipotesis sebuah ruang sastra dunia dan bukan ruang yang lebih terbatas, yang lebih mudah ditandai batasnya—kawasan regional atau linguistik, misalnya? Mengapa memilih awal dengan mengkonstruksi domain kemungkinan paling luas, yang sangat mengundang risiko? Sebab untuk menyoroti bekerjanya dunia ini, khususnya bentuk-bentuk dominasi yang berlaku di dalamnya, dituntut penolakan terhadap kategori-kategori dalam pembagian nasional mapan; bahkan dituntut adanya mode berpikir trans-nasional atau antar-nasional. Begitu kita mengadopsi perspektif dunia ini, seketika kita bisa melihat bahwa perbatasan nasional, atau perbatasan linguistik, benar-benar menyingkap efek riil dominasi dan ketimpangan kesusastraan. Penjelasannya sederhana: sastra di seluruh dunia dibentuk mengikuti model nasional yang diciptakan dan dipromosikan Jerman pada akhir abad ke-18. Gerakan nasional sastra, yang menyertai pembentukan ruang politik Eropa sejak permulaan abad ke-19, bermuara pada esensialisasi kategori kesusastraan dan kepercayaan bahwa garis terluar ruang kesusastraan harus bertepatan dengan perbatasan nasional. Bangsa-bangsa dianggap sebagai unit-unit terpisah yang memagari diri, tidak bisa saling direduksi; dari dalam spesifitas autarkis mereka, entitas-entitas itu memproduksi objek-objek kesusastraan dengan ‘keharusan historis’ yang terpahat dalam sebuah cakrawala nasional. Stefan Collini telah memaparkan tautologi yang melandasi definisi ‘sastra nasional’ untuk kasus Britania—atau tepatnya, Inggris; ‘hanya para pengarang yang menunjukkan karakteristik gamblang diakui sebagai Inggris yang autentik, sebuah kategori yang definisinya bertumpu pada contoh-contoh yang tersedia dalam sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang itu sendiri.’[10]
Pembagian sastra menurut kebangsaan menghasilkan sebuah bentuk astigmatisme. Sebuah analisis tentang ruang kesusastraan Irlandia antara 1890 dan 1930 yang mengabaikan berbagai peristiwa di London (kekuasaan politik, kolonial serta kesusastraan, yang untuk melawan hal inilah maka ruang Irlandia itu dibangun) dan di Paris (sumber alternatif dan kekuasaan kesusastraan yang netral secara politis), atau diam-diam menganggap sepi peredaran, pengasingan, dan berbagai bentuk penghargaan yang diberikan di berbagai ibu kota, pastiakan menimbulkan pandangan parsial dan terdistorsi tentang pertaruhan dan relasi kekuasaan aktual yang menghadang para pelaku sastra Irlandia. Begitu pula, sebuah kajian tentang ruang kesusastraan Jerman dari akhir abad ke-18 yang mengabaikan hubungan kompetitif dengan Perancis akan berisiko sepenuhnya menyalahpahami upaya-upaya strukturisasinya.
Tentu ini tidak berarti bahwa relasi kesusastraan antar-bangsa adalah satu-satunya faktor penjelas dalam teks-teks kesusastraan; juga tidak berarti bahwa kompleksitas kesusastraan direduksi ke dalam dimensi ini saja. Banyak variabel lain—nasional (yakni yang bersifat internal bagi bidang kesusastraan nasional), psikologis, psikoanalisis, formal atau formalis—yang memainkan peran.[11] Nampaknya yang lebih perlu diupayakan adalah memperlihatkan, dalam batas-batas struktural maupun historis, berapa banyak variabel, konflik atau bentuk-bentuk kekerasan samar yang tetap tidak terdeteksi karena tak kasatmatanya struktur dunia ini. Tulisan kritis tentang Kafka, misalnya, sering terbatas hanya pada kajian biografis psikologinya atau deskripsi Praha tahun 1900-an. Dalam hal ini ‘layar’ biografis dan nasional menghalangi kita melihat tempat sang pengarang di dunia-dunia lain yang lebih besar: dalam ruang gerakan nasionalis Yahudi waktu itu yang berkembang di seluruh Eropa tengah dan timur; dalam perdebatan antara kubu Bundis dan Yiddishis; sebagai salah satu yang didominasi dalam ruang linguistik dan kultural Jerman, dan lain sebagainya. Filter nasional bertindak sebagai semacam batas ‘alami’ yang merintangi pengamat menimbang kekerasan relasi kekuasaan politis dan kesusastraan yang mempengaruhi penulis.

Ruang Dunia atau Sistem-Dunia?
Hipotesis tentang sebuah ruang dunia, yang bekerja lewat sebuah struktur dominasi yang, hingga batas tertentu, independen dari bentuk-bentuk politik, ekonomi, linguistik dan sosial, jelas berutang banyak pada konsepsi Pierre Bourdieu tentang ‘gelanggang’ (field) dan pada, lebih persisnya, ‘gelanggang kesusastraan’.[12] Tetapi yang disebut terakhir itu, sejauh ini hanya dibayangkan dalam sebuah kerangka nasional, dibatasi oleh tapal batas, tradisi historis dan proses akumulasi modal suatu negara bangsa. Dalam karya Fernand Braudel, dan terutama dalam ‘dunia-ekonomi’-nya, saya dapati ide dan kemungkinan meluaskan analisis atas mekanisme-mekanisme ini ke level internasional.[13]
Meski begitu perlu saya tekankan perbedaan antara ‘struktur dunia’ yang saya usulkan dan ‘sistem dunia’, yang dikembangkan terutama oleh Immanuel Wallerstein, yang nampaknya tidak begitu cocok dengan ruang-ruang produksi kultural.[14] ‘Sistem’ secara tidak langsung menunjuk pada relasi interaktif antara setiap unsur, setiap posisi. Sedangkan struktur dicirikan dengan relasi-relasi objektif, yang bisa beroperasi di luar semua interaksi langsung. Lebih jauh, dalam pengertian Wallerstein, berbagai kekuatan dan gerakan yang melawan ‘sistem’ dianggap anti-sistemik. Dengan kata lain, mereka berada di luar dan melawan sistem dari suatu posisi ‘di luar’, yang kadang-kadang sulit ditentukan letaknya tetapi bisa ditempatkan di ‘pinggiran’. Dalam sebuah struktur dominasi internasional, yang sebaliknyalah yang terjadi: definisi ‘luar’ dan ‘dalam’—yaitu perbatasan-perbatasan ruang—justru adalah fokus pertarungan. Pertarungan-pertarungan inilah yang menyusun ruang, yang menyatukannya dan mendorong ekspansinya. Dalam struktur ini, sarana dan metode terus-menerus diperselisihkan: siapa yang bisa disebut penulis, siapa yang bisa melakukan penilaian esetetis yang sah (penilaian yang bakal menyandangkan nilai spesifik pada suatu karya), tentang definisi pokok sastra.
Dengan kata lain, ruang sastra dunia bukan sebuah wilayah yang membentang di atas yang lain-lainnya, dicadangkan khusus untuk para penulis, editor, dan kritisi internasional—karena aktor-aktor kesusastraan bergerak di sebuah dunia yang dianggap mengalami de-nasionalisasi. Itu bukan kawasan eksklusif para novelis besar, pengarang yang luar biasa sukses, dan produksi editorial yang dirancang bagi penjualan global. Ruang itu dibentuk oleh seluruh penghuni Republik Sastra, masing-masing mendiami tempat-tempat berbeda dalam ruang sastra nasional mereka. Pada saat yang sama, tidak bisa tidak posisi tiap-tiap penulis adalah posisi ganda, dua kali didefinisikan: setiap penulis mula-mula ditempatkan menurut posisi yang dia duduki di sebuah ruang nasional, lalu ditempatkan lagi menurut tempat yang dia duduki dalam ruang dunia. Posisi ganda ini, nasional dan internasional, menjelaskan mengapa—bertentangan dengan apa yang coba diyakini oleh pandangan-pandangan ekonomistis tentang globalisasi—pertarungaan internasional berlangsung dan berpengaruh terutama dalam ruang-ruang nasional; pertempuran demi definisi sastra, demi transformasi dan inovasi teknis atau formal, secara keseluruhan menjadikan ruang sastra nasional sebagai arena mereka.
Salah satu dikotomi besar yang menganga adalah antara penulis-penulis nasional dan internasional. Inilah retakan yang menjelaskan bentuk-bentuk kesusastraan, tipe-tipe inovasi estetis, pengadopsian berbagai genre. Para penulis nasional dan internasional berperang dengan senjata berbeda-beda, demi beragam penghargaan estetis, komersial dan editorial—dengan demikian, dalam cara-cara berbeda, menyumbang bagi akumulasi sumber daya kesusastraan nasional yang disyaratkan guna memasuki ruang dunia dan bersaing di dalamnya. Bertentangan dengan pandangan konvensional yang umum, nasional dan internasional bukanlah wilayah terpisah; keduanya adalah posisi-posisi yang berhadapan, bertarung dalam domain yang sama.[15]
Itulah sebabnya ruang sastra tidak bisa dibayangkan sekadar sebagai sebuah geografi dunia yang bisa dimengerti cukup dengan deskripsi daerah-daerahnya, iklim kultural dan linguistiknya, pusat-pusat daya tarik dan mode sirkulasinya, seperti yang dilakukan Braudel atau Wallerstein untuk dunia ekonomi.[16] Ruang kesusastraan itu harus lebih dilihat berkenaan dengan apa yang oleh Cassirer disebut sebagai‘bentuk simbolis’, yang di dalamnya para penulis, pembaca, peneliti, guru, kritikus, penerbit, penerjemah dan lain-lain, membaca, berpikir, berdebat, menafsir; sebuah struktur yang menyediakan kategori-kategori intelektual untuk mereka—kita juga—dan mencipta ulang hierarki dan rintangan-rintangannya dalam setiap benak, dan dengan demikian memperkokoh aspek-aspek material eksistensinya.[17] Berbagai perbedaan yang muncul ditentukan menurut posisi (nasional, linguistik, profesional) yang bersangkutan di dalam ruang kesusastraan tersebut pada satu momen tertentu. Ruang kesusastraan, dalam segala bentuknya—teks, juri, editor, kritikus, penulis, teoretikus, sarjana—eksis dua kali: pertama dalam segala hal yang kasat mata dan kemudian dalam pikiran; yakni, dalam seperangkat kepercayaan yang diproduksi oleh relasi-relasi material itu dan diinternalisir oleh para pemain dalam Lomba Besar sastra.
Ini juga merupakan hal lain yang membuat struktur itu begitu sulit digambarkan: mustahil menempatkannya di kejauhan, sebagai sebuah fenomena terpisah dan bisa diobjektifikasi. Lebih dari itu: setiap deskripsi atau analisis atas cara kerjanya niscaya bertentangan dengan pemikiran konvensional yang sangat lazim tentang sastra, bertentangan dengan fakta-fakta kesarjanaan atau estetis yang ada, dan harus ada pemahaman ulang atas setiap pengertian, setiap kategori—pengaruh, tradisi, warisan, modernitas, klasik, nilai—yang berhubungan dengan cara kerja spesifik internal republik sastra dunia.

Akumulasi Kekuasaan
Karakteristik utama ruang kesusastraan dunia ini adalah hierarki dan ketimpangan. Distribusi barang dan nilai yang tidak merata adalah salah satu prinsip penyusunnya, sebab secara historis sumber daya dikumpulkan dalam batas-batas nasional. Goethe adalah orang pertama yang secara intuitif mengetahui kaitan langsung antara penampilanWeltliteratur dan kemunculan sebuah perokonomian baru yang dibangun di atas pertarungan spesifik relasi-relasi kesusastraan internasional: sebuah ‘pasar di mana semua bangsa menjajakan dagangan’ dan ‘sebuah perdagangan intelektual umum.’[18] Pada kenyataannya, dunia sastra menyodorkan sebuah pasar paradoks, dibentuk di sekitar perekonomian non-ekonomi, dan berfungsi menurut seperangkat nilai miliknya sendiri: karena di sini produksi dan reproduksi didasarkan atas kepercayaan pada nilai ‘objektif’ kreasi-kreasi kesusastraan—karya-karya sastra itu dinyatakan sebagai ‘tak terukur harganya’. Nilai yang diproduksi oleh karya-karya klasik nasional atau universal, inovator-inovator besar, poètes maudits, naskah-naskah langka, semuanya memusat di kota-kota besar dalam bentuk benda-benda kesusastraan nasional. Daerah-daerah tertua, yang paling lama mapan di lapangan kesusastraan, adalah yang paling kaya dalam pengertian ini—dengan kekuasaan yang paling kuat. Prestise adalah bentuk paling murni perwujudan kekuasaan dalam semesta kesusastraan: otoritas non-material mutlak yang disandangkan pada karya-karya sastra paling tua, paling ningrat, paling absah (istilah-istilah yang nyaris sinonim), pada karya-karya klasik yang paling dikeramatkan dan pada para pengarang yang paling diagungkan.[19]
Distribusi timpang sumber daya kesusastraan merupakan hal fundamental bagi struktur seluruh ruang kesusastraan dunia, diorganisir sedemikian rupa di sekitar dua kutub yang berlawanan. Di kutub otonomi terbesar—yaitu yang paling bebas dari rintangan politik, nasional atau ekonomi—berdiri ruang-ruang tertua,[20] ruang-ruang yang paling dilimpahi warisan dan sumber daya kesusastraan.[21] Umumnya itu adalah ruang-ruang Eropa, yang pertama memasuki kompetisi kesusastraan transnasional, dengan banyak akumulasi sumber daya. Di kutub heteronomi terbesar, di mana kriteria politik, nasional dan komersial sangat menentukan, berdirilah para pendatang baru, ruang-ruang paling miskin dalam hal sumber daya kesusastraan; dan zona-zona dalam daerah-daerah tertua yang paling tunduk pada kriteria komersial. Sementara itu, masing-masing ruang nasional mengalami polarisasi dengan struktur yang sama.
Kekuasaan zona-zona terkaya terus langgeng sebab merekamempunyai efek riil dan bisa diukur, utamanya ‘transfer prestise’ lewat ulasan atau kata pengantar para penulis prestisius untuk buku-buku yang sebelumnya tidak dikenal, atau karya-karya dari luar pusat: ulasan penuh semangat Victor Hugo tentang Walter Scott, ketika terjemahan pertama bahasa Perancis novelnya terbit; tinjauan Bernard Shaw atas produksi pertama lakon-lakon Ibsen di London; kata pengantar Gide tahun 1947 untuk Livre des jours Taha Hussein; atau mekanisme kompleks pengakuan lewat terjemahan, seperti dalam penobatan Borges ketika diterjemahkan oleh Roger Caillois, Ibsen oleh William Archer, dan seterusnya.

Derajat Otonomi
Ciri mendasar kedua dunia sastra adalah otonomi relatifnya.[22] Isu-isu yang mengemuka dalam domain politik tidak bisa diletakkan di atas, atau dirancukan dengan, isu-isu dalam ruang sastra, entah itu nasional atau internasional. Nampaknya sebagian besar teori kesusastraan kontemporer cenderung menciptakan hubungan pendek ini, terus-menerus mereduksi kesusastraan menjadi politis. Sebuah contoh yang menonjol adalah Kafka karya Deleuze dan Guattari, yang mengklaim telah menyimpulkan dari satu entri buku harian saja (25 Desember 1911), bukan cuma sebuah pendirian yang sangat politis—yang dengan demikian menegaskan bahwa Kafka benar-benar ‘pengarang politis’—tetapi juga sebuah visi politis yang menjiwai segenap karyanya. Berbekal sebuah frase yang diterjemahkan meleset dalam versi Perancis Diary Kafka, mereka berdua membangun sebuah kategori ‘sastra minor’ dan mengaitkan pada Kafka, lewat sebuah anakronisme sejarah yang mencolok, sebuah kesibukan yang mustahil Kafka lakukan sebelum Perang Dunia Pertama.[23]
Otonomi mensyaratkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang sastra juga otonom: saat-saat tonggak, manifesto, tokoh, monumen, peringatan, kota-kota besar, semua ini bergabung menghasilkan sebuah sejarah spesifik, yang tidak bisa dirancukan dengan sejarah dunia politis—sekalipun bila ruang sastra untuk sebagian bergantung pada dunia politis, dalam sebuah bentuk yang menuntut perhatian yang cermat. Braudel, dalam karyanya tentang sejarah perekonomian dunia antara abad ke-15 dan ke-18, mencatat kemandirian relatif ruang artistik terhadap ruang ekonomi yang dengan demikian juga terhadap ruang politik. Venesia adalah ibu kota perekonomian abad ke-16, tetapi adalah dialek Florence dan Tuscany yang menanjak secara intelektual. Pada abad ke-17, Amsterdam menjadi pusat besar perdagangan Eropa, tetapi Roma dan Madrid berjaya dalam seni dan sastra. Pada abad ke-18, London adalah pusat dunia ekonomi tetapi Parislah yang menjalankan hegemoni kulturalnya.
Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, Perancis, walaupun tertinggal dalam segi ekonomi dari seluruh negara Eropa lainnya, tak bisa dibantah merupakan pusat seni rupa dan sastra Barat; masa-masa ketika Italia dan Jerman mendominasi dunia musik bukanlah masa ketika Italia atau Jerman mendominasi Eropa secara perekonomian; sekarang pun, perekonomian luar biasa yang dipimpin Amerika Serikat tidak menjadikan negara itu pemimpin kesusastraan dan artistik dunia.[24]
Kasus sastra Amerika Latin merupakan bukti lebih jauh mengenai otonomi relatif wilayah kesusastraan, yang tak punya kaitan langsung, tanpa hubungan sebab akibat antara kekuatan ekonomi-politik dengan kekuasaan atau legitimasi kesusastraan di tataran internasional. Pengakuan global yang diberikan pada kumpulan karya itu, dalam bentuk Hadiah Nobel, penghargaan mendunia bagi nama-nama besar mereka, legitimasi kokoh model estetis terkemuka mereka, tanpa menghiraukan kelemahan ekonomi dan politik negara-negara asal, semuanya menunjukkan bahwa kedua tatanan itu tidak bisa dicampuradukkan. Untuk memahami berbagai kondisi kemunculan ‘boom’ kesusastraan Amerika Latin, misalnya, kita perlu mempostulatkan independensi relatif fenomena kesusastraan. [25]
Tetapi jika dunia kesusastraan relatif independen dari semesta ekonomi dan politik, ia juga relatif tergantung pada semesta yang disebut terakhir itu. Seluruh sejarah ruang kesusastraan dunia—dalam totalitasnya, maupun di tiap-tiap ruang sastra nasional yang menyusun dunia itu—adalah salah satu ketergantungan awal dalam relasi-relasi nasional-politis, disusul oleh emansipasi progresif dari mereka melalui proses otonomisasi. Ketergantungan muasal itu masih ada hingga derajat tertentu, terkait pada senioritas ruang yang bersangkutan; terlebih pada tataran bahasa. Nasionalisasi ruang sastra yang nyaris sistemik di seluruh dunia membuat bahasa menjadi sebuah instrumen yang ambigu, baik secara kesusastraan dan maupun secara politis.

Bentuk-bentuk Dominasi
Berpijak pada uraian di atas, dalam masyarakat kesusastraan, mode-mode dominasi saling melingkupi. Tiga bentuk utama unjuk diri dalam derajat yang berlainan, tergantung pada posisi ruang yang ada: dominasi linguistik, kesusastraan dan politik—yang terakhir ini makin sering tampil dalam wajah ekonomis. Ketiganya tumpang tindih, saling menembus dan mengaburkan sampai sedemikian rupa hingga hanya bentuk yang paling gamblang—yakni dominasi ekonomi-politik—yang bisa dilihat. Banyak sekali ruang sastra yang tergantung secara linguistik (Kanada, Australia, Selandia Baru, Belgia, Swiss, Quebec) tanpa menjadi subordinat secara politis; yang lain-lainnya, terutama yang muncul dari dekolonisasi, barangkali meraih kemerdekaan linguistik tetapi tetap tidak bebas secara politis. Namun, subordinasi bisa pula diukur dalam batasan-batasan yang murni sastra, lepas dari segala penindasan dan penundukan politis. Mustahil menjelaskan jenis-jenis tertentu pengasingan, atau perubahan dalam bahasa tertulis, baik yang sementara atau yang permanen—August Strindberg, Joseph Conrad, Samuel Beckett, E. M. Cioran, umpamanya—tanpa menghipotesiskan adanya bentuk-bentuk dominasi yang sangat literer, kekuatan-kekuatan yang berada di luar bingkai kekuasaan-politik yang mana pun.[26]
Konsekuensi dominasi kesusastraan pada produksi, penerbitan dan pengakuan teks membutuhkan analisis tersendiri. Keunggulan yang diberikan kajian kesusastraan pada psikologi, misalnya—umum diketahui didasarkan pada kesunyian tiada tara para penulis—sering menghalangi penjelasan tentang hambatan struktural tidak terlihat yang menghadang produksi karya penulis, sampai ke pilihan bentuk, genre, bahasa mereka. Ambil contoh Gertrude Stein: walaupun kajian-kajian feminis dengan tepat menekankan kekhasan biografis dan psikologisnya, khususnya lesbianismenya, mereka tidak menyinggung lokasi Stein di ruang kesusastraan dunia, seolah-olah entah bagaimana hal itu terjelaskan dengan sendirinya. Atau barangkali, apa saja yang terkait dengan posisinya sebagai orang Amerika di Paris hanya disebut dalam konteks biografis atau anekdot. Tetapi kita tahu bahwa AS berada dalam posisi subordinat dalam urusan sastra selama 1910-an hingga 1920-an, dan bahwa penulis Amerika datang ke Paris mencari sumber daya sastra dan model-model estetis. Di sini kita punya contoh dominasi spesifik kesusastraan, berlangsung dalam ketiadaan bentuk ketergantungan lain yang mana saja. Analisis sederhana atas status Stein sebagai penyair ekspatriat di Paris—status ‘imigran’ adalah tanda jelas dari ketergantungan—dan posisi ruang sastra Amerika dalam Dunia Sastra, bisa membantu kita memahami mengapa Stein begitu sibuk, seperti halnya Ezra Pound pada titik yang sama, dengan ‘pengayaan’ sebuah sastra nasional Amerika. Pada saat yang bersamaan, minatnya dalam representasi kesusastraan Amerika sangat siginifikan — karya raksasanya, The Making of Americans, merupakan manifestasi yang paling terang benderang. Fakta bahwa dia seorang perempuan dan lesbian di Paris tahun 1910-an tentu amat penting untuk memahami dorongan subversifnya dan watak keseluruhan proyek estetisnya. Namun hubungan dominasi kesusastraan yang terstruktur secara historis, jelas sangat penting, tetap saja luput dari tradisi kritis. Seakan-akan, sebagai kelaziman, selalu ada semacam partikularitas—tentu penting, tetapi tetap sekunder—yang menyembunyikan keseluruhan pola relasi kekuasaan kesusastraan.
Bentuk keunggulan sastra ini—yang begitu tidak lazim, begitu sulit digambarkan, begitu paradoksikal—dalam beberapa situasi bisa menghadirkan sebuah pembebasan, dibandingkan dengan kerangkeng estetis, atau estetis-politis, ruang-ruang arkaik yang tertutup bagi inovasi. Kekuatan dari bentuk unggul tersebut berlaku atas setiap teks, setiap penulis di dunia, apa pun posisi mereka dan sejelas apa pun kesadaran mereka tentang mekanisme dominasi kesusastraan; tetapi yang lebih penting lagi, atas mereka yang berasal dari sebuah ruang sastra yang tak punya otonomi atau yang terletak di salah satu daerah subordinat Dunia Sastra.
Meski begitu, efek penobatan oleh pemegang otoritas sentral bisa begitu kuat hingga bagi penulis-penulis tertentu dari pinggiran yang meraih pengakuan penuh bisa timbul ilusi bahwa struktur dominasi sama sekali sudah lenyap; yang membuat mereka memandang diri sebagai bukti hidup dari pembentukan sebuah ‘tata kesusastraan dunia’ baru. Sambil menguniversalkan apa yang khusus dari kasus mereka, mereka menyatakan bahwa kita sedang menyaksikan pembalikan total dan final atas perimbangan kekuasaan antara pusat dan pinggiran. Carlos Fuentes, misalnya, menulis dalam The Geography of the Novel:
Eurosentrisme lama sudah ditekuk oleh sebuah polisentrisme yang … niscaya menuntun kita menuju ke sebuah ‘pengaktifan aneka perbedaan’ sebagai kondisi umum dari sebuah kemanusiaan yang sentral … Sastra dunia Goethe akhirnya mendapatkan maknanya yang tepat: ia adalah sastra perbedaan, narasi keanekaragaman yang bertemu di satu dunia … Satu dunia, dengan banyak suara. Konstelasi-konstelasi baru yang secara bersama-sama membentuk geografi novel adalah konstelasi yang beraneka dan terus berubah.[27]
Semangat multikulturalis yang berkobar telah mendorong pihak-pihak lain menyatakan bahwa hubungan antara pusat dan pinggiran kini sudah berbalik secara radikal, dan bahwa untuk selanjutnya dunia pinggiran akan menempati posisi sentral. Dalam kenyataan, efek dari dongeng hibrid yang menenangkan kegelisahan ini adalah mendepolitisasi relasi-relasi kesusastraan, melanggengkan legenda pesona kesusastraan besar dan melucuti para penulis dari pinggiran yang mengupayakan strategi pengakuan yang bakal subversif dan efektif.

Modernismo Sebagai Perebutan Kembali
Ketimpangan sastra dan hubungan-hubungan dominasinya menyulut bentuk-bentuk pertarungan, persaingan dan pertandingan mereka sendiri. Tetapi pihak yang ditundukkan juga mengembangkan strategi khusus yang hanya bisa dipahami dalam kerangka kesusastraan, sekalipun itu bisa saja memiliki konsekuensi politis. Bentuk, inovasi, gerakan, revolusi dalam tatanan narasi bisa saja dibelokkan, ditangkap, dirampas atau dicaplok, dalam upaya menjungkirkan relasi-relasi kekuasaan kesusastraan yang sedang berlaku.
Dalam persoalan inilah saya hendak menganalisis kebangkitanmodernismo di negara-negara berbahasa Spanyol pada akhir abad ke-19. Bagaimana menjelaskan fakta bahwa gerakan ini, yang menjungkirbalikkan seluruh tradisi puisi Hispanik, didikte oleh seorang penyair dari Nikaragua, di tepi jauh imperium kolonial Spanyol? Rubén Darío, terpikat sejak kanak-kanak oleh legenda kesusastraan Paris, tinggal di kota itu pada akhir tahun 1880-an dan, cukup logis, terpesona oleh puisi simbolis Perancis yang baru saja naik daun.[28] Dia lalu melakukan gerakan yang memukau, yang hanya pantas disebut sebagai perebutan modal kesusastraan: dia mengimpor, ke dalam puisi Spanyol, prosedur, tema, kosakata dan bentuk-bentuk yang dipuja oleh kaum simbolis Perancis. Perebutan ini dinyatakan dengan cukup tegas, dan Perancisisasi puisi Spanyol, sampi ke fonem dan bentuk-bentuk sintaksisnya, menunjukkan apa yang bisa disebut sebagai ‘Gallisisme mental’. Pembelokan modal ini demi tujuan-tujuan kesusastraan dan politis[29] sudah barang tentu tidak dilakukan dalam mode pasif ‘penerimaan’, apalagi ‘pengaruh’, seperti yang diyakini analisis kesusastraan tradisional. Sebaliknya, perebutan ini adalah bentuk aktif dan merupakan instrumen dari sebuah perjuangan kompleks. Untuk melawan sekaligus dominasi politik-linguistik Spanyol atas imperium kolonialnya dan pembekuan yang melumpuhkan puisi berbahasa Spanyol, Darío terang-terangan meneguhkan dominasi yang dikendalikan Paris pada masa itu.[30] Paris, sebagai benteng kultural sekaligus sebagai wilayah politis yang lebih netral bagi warga negeri imperial dan nasional lain, dimanfaatkan oleh banyak penulis abad ke-19 dan ke-20 sebagai senjata perjuangan sastra mereka.
Maka dari itu problem yang muncul dalam teorisasi ketimpangan kesusastraan bukan apakah para penulis pinggiran ‘meminjam’ dari pusat atau tidak, atau apakah arus kesusastraan mengalir dari pusat ke pinggiran atau tidak; melainkan restitusi, kepada pihak tersubordinasi di dunia kesusastraan, menyangkut bentuk-bentuk, spesifisitas dan kesulitan perjuangan mereka. Dengan itulah mereka layak Baru diberi penghargaan untuk penciptaan—yang sering kali tersembunyi—dari kebebasan kreatif mereka. Dihadang kebutuhan untuk menemukan solusi bagi ketergantungan, dan menyadari bahwa semesta kesusastraan mematuhi prinsip terkenal Berkeley esse est percipi—ada adalah dianggap—pelan-pelan mereka menyempurnakan perangkat strategi mereka yang terkait dengan posisi mereka, bahasa tulis mereka, lokasi mereka dalam ruang kesusastraan, hingga ke jarak atau kedekatan yang ingin mereka bangun dengan pusat pemberi prestise. Di tempat lain, saya sudah berusaha menyatakan bahwa mayoritas solusi kompomis yang tercapai dalam struktur ini didasarkan pada ‘seni mengatur jarak’, suatu cara menempatkan diri, secara estetis, yang tidak tertalu dekat tidak pula terlalu jauh; dan bahwa sebagian besar penulis yang tersubordinasi bergerak dengan kecanggihan luar biasa untuk memberi diri sendiri peluang terbaik agar dianggap, mencari peluang untuk eksis dalam pengertian kesusastraan. Sebuah analisis atas karya-karya yang berasal dari zona tersebut, sebagaimana diperlihatkan begitu banyak strategi penempatan yang kompleks, mengungkapkan betapa banyak revolusi-i besar kesusastraan terjadi di pinggiran dan daerah-daerah tersubordinasi, sebagaimana dipersaksikan oleh Joyce, Kafka, Ibsen, Darío dan banyak lagi yang lainnya. Karena itulah, berbicara tentang bentuk dan genre kesusastraan pusat hanya sebagai warisan kolonial yang dipakai para penulis di daerah-daerah subordinat sama saja dengan mengabaikan fakta bahwa sastra itu sendiri, sebagai nilai bersama seluruh ruang, juga sebuah instrumen yang, jika direbut kembali, bisa memungkinkan penulis—dan khususnya penulis dengan sumber daya paling sedikit—mencapai suatu jenis kemerdekaan, pengakuan dan eksistensi di dalamnya. Lebih konkret dan lebih lugasnya, renungan-renungan tentang sangat luasnya apa yang mungkin dalam sastra ini, bahkan dalam struktur dominasi yang sangat besar dan tak terelakkan ini, juga dimaksudkan berfungsi sebagai senjata simbolis dalam perjuangan mereka yang paling miskin sumber daya sastra, dalam menghadapi rintangan yang para penulis di pusat sekedar membayangkaannya pun tidak bisa. Yang menjadi tujuan di sini adalah memperlihatkan bahwa apa yang mereka alami sebagai keadaan ketergantungan individual yang tak terselesaikan, tanpa preseden atau perbandingan, dalam kenyataannya adalah sebuah posisi yang diciptakan oleh sebuah struktur yang bersifat historis sekaligus kolektif.[31] Di samping mempertanyakan metode dan alat kajian kesusastraan komparatif, komparativisme struktural yang saya sampaikan garis besarnya di sini juga berupaya menjadi instrumen dalam perang kesusastraan yang panjang dan tak kenal ampun.

Pascale Casanova, perempuan kritikus berkebangsaan Prancis, penulis buku penting “The World Republic of Letters”. Versi Inggeris artikel ini terbit di New Left Review 31, January-February 2005.

Noor Cholis, penerjemah lepas. Bisa dihubungi di 0856-289-6924 dan di kompor_jaya@yahoo.com

refference >>>>

[1] Noam Chomsky, Current Issues in Linguistic Theory, The Hague 1964, h. 105ff.
[2] Henry James, The Figure in the Carpet and Other Stories, Harmondsworth 1986, h. 381.
[3] Lihat André Schiffrin, The Business of Books: How the International Conglomerates Took over Publishing and Changed the Way we Read, London dan New York 2000.
[4] Lihat Kjell Espmark, Le Prix Nobel. Histoire intériure d’une consécration littéraire, Paris 1986.
[5] Penganugerahan hadiah terakhir untuk orang Austria Elfriede Jelinek—pengarang unik karya prosa dan lakon distortif dan eksperimental, dengan pendirian kritis feminis dan politis radikal, dan tak kurang radikal pesimisnya—adalah contoh lain kemandirian total juri Swedia dalam menentukan pilihan dan melaksanakan “kebijakan kesusastraan” mereka.
[6] ‘Modern ada di luar, kita harus mengimpornya,’ tulisnya, sebagai misal. Paz, La búsqueda del presente. Conferencia Nobel, San Diego 1990.
[7] Antonio Candido, ‘Literature and Underdevelopment, dalam On Literature and Society, diterjemahkan oleh Howard Becker, Princeton 1995, h. 128 – 9.
[8] ‘Pemanfaatan untuk kepentingan sendiri’ unsur asing yang sama menjelaskan kasus kaum Romantis Perancis yang dikutip oleh Christopher Prendergast—‘memanfaatkan’ Shakespeare dan tradisi teatrikal Inggris untuk menamtapkan diri dalam ruang Perancis. Lihat ‘Negotiating World Literature’, NLR 8, Maret – April 2001, h. 110 – 1 .
[9] Artikel terkenal Sartre tentang The Sound and the Fury, ‘La temporalité chez Faulkner’, dimuat dalam Nouvelle revue française, Juni – Juli 1939; dimuat ulang dalamSituations I, Paris 1947, h. 65 – 75.
[10] Stefan Collini, Public Moralists: Political Thought and Intelectual Life in Britain, 1850 – 1930, Oxford 1991, h. 357.
[11] Dengan segala hormat kepada Christopher Prendergast, saya tidak mengatakan bahwa ide-ide ‘nasion’ atau ‘nasional’ mesti terkait dengan ide tentang ‘sastra’. Saya justru bermaksud mengistimewakan ide-ide itu sehingga dalam République mondiale des lettres (1999) saya menawarkan ‘ruang kesusastraan nasional’, yakni berbagai sub-ruang yang terletak di semesta kesusastraan dunia. Berbagai sub-ruang itu saling bersaing, lewat pertarungan para penulis, bukan demi alasan-alasan nasional (atau nasionalis), melainkan demi pertaruhan yang sangat bersifat kesusastraan. Artinya, derajat kemandirian kesusastraan yang relatif terhadap konflik-konflik dan ideologi nasional memiliki korelasi kuat dengan usia sub-ruang. Di sini contoh dari Wordsworth—yang karyanya sudah barang tentu tidak bisa ditafsirkan semata-mata berkenaan dengan persaingan antar-bangsa—merupakan ilustrasi sempurna tentang fakta bahwa ruang-ruang nasional tertua dan paling kaya bakatlah yang perlahan-lahan berupaya mewujudkan sebuah sastra otonom dalam pagar nasional mereka, (relatif) mandiri dari pertaruhan yang amat sastra; maksudnya, sebuah ruang yang mengalami depolitisasi dan (setidak-tidaknya secara parsial) denasionalisasi. Lihat Prendergast, ‘Negotiating World Literature’, h. 109 – 112.
[12] Untuk poin ini lihat Pierre Bourdieu, Les Régles de l’art. Genèse et structure du champ littéraire, Paris 1992.
[13] Fernand Braudel, Civilisation matérielle, économie et capitalisme—XVe-XVIIIe siècles, 3 jilid, Paris 1979, jilid 3, khususnya bab I, h. 12-33.
[14] Franco Moretti membahas konsep sistem-dunia dalam tulisannya ‘Conjectures on World Literature’, NLR 1, Januari–Februari 2000, dan dalam ‘More Conjectures’, NLR 20, Maret–April 2003. Di satu pihak itu memungkinkan dia meneguhkan kesatuan dan ketimpangan mendasar sistem kesusastraan yang nampaknya coba dia paparkan, sebuah peneguhan krusial dan menetapkan batas yang sepenuhnya saya terima. Di lain pihak, pemanfaatan pertentangan Braudelian antara ‘pusat’ dan ‘pinggiran’ bagi saya terlihat cenderung mengabaikan kekerasan (kesusastraan) yang terjadi, dan dengan demikian mengaburkan ketimpangannya. Daripada dikotomi spasial ini, saya lebih menyukai pertentangan antara yang dominan dan yang didominasi, guna mencuatkan kembali fakta suatu relasi kekuasaan. Di sini harus saya jelaskan bahwa ini tidak menyiratkan suatu pemilahan belaka ke dalam dua kategori melainkan, justru, sebuah kontinuum berbagai situasi berlainan di mana derajat ketergantungan sangat bervariasi. Kita dapat, misalnya, menggunakan kategori yang dikemukakan Bourdieu tentang ‘yang didominasi di antara para pendominasi’ untuk memaparkan situasi subordinasi (kesusastraan) di Eropa. Bagi saya, sistem-sistem dunia yang menggunakan istilah ‘semi-pinggiran’ untuk mendeskripsikan jenis posisi perantara ini mengecilkan dan menghaluskan relasi yang dominan – yang didominasi, tanpa menawarkan ukuran presisi derajat ketergantungan.
[15] Dalam menawarkan sebuah tabel komparatif ‘lembaga-lembaga sastra regional, nasional dan dunia di India’, Francesca Orsini mengemukakan bahwa ada ‘jenjang’ atau ‘wilayah’ berbeda-beda dan saling tergantung dalam suatu ruang sastra nasional. Saya ingin mengatakan bahwa kita sedang berurusan dengan posisi-posisi yang hanya ada dalam dan melalui relasi-relasi kekuasaan di mana satu sama lain saling topang, dan bukan dengan sebuah ‘sistem’ kaku tak tergoyahkan. Lihat ‘India in the Mirror of World Fiction’, NLR 13, Januari – Februari 2002, h. 83.
[16] Lihat terutama Wallerstein, The Modern World-System, 3 jilid, New York 1980 – 88.
[17] Ernst Cassirer, La Philosophie des formes symboliques, jilid 1, Le langage, Paris 1972, khususnya bab 1, h. 13 – 35.
[18] J. W. von Goethe, Goethes Werke, Hamburg 1981, jilid 12, h. 362 – 3. Lihat juga Fritz Strich, Goethe and World Literature, New York 1972, h. 10.
[19] Dictionaire Larousse memuat dua definisi tambahan ‘prestige’, yang masing-masing menyiratkan pengetian kekuasaan atau otoritas: ‘1. Keunggulan yang berasal dari kebesaran dan nampaknya memiliki karakter misterius. 2. Pengaruh, pengakuan.’
[20] Lebih tepatnya, yang paling lama berada di ruang kompetisi kesusastraan. Ini menjelaskan mengapa ruang-ruang kuno tertentu seperti negara-negara China, Jepang dan Arab berumur panjang dan subordinat: mereka memasuki ruang kesusastraan internasional sangat terlambat dan dalam posisi subordinat.
[21] Terutama yang bisa mengajukan klaim ‘klasik universal’ (dan paradoksnya) nasional.
[22] Tentang pengertian ‘otonomi relatif’, lihat Pierre Bourdieu, Les Règles de l’art, Paris 1992, khususnya h. 75 – 164.
[23] Klein—maksudnya hanya ‘sastra kecil’—Kafka diterjemahkan berlebihan oleh Marthe Robert sebagai ‘sastra minor’, sebuah ekspresi yang nasibnya di kemudian hari sudah umum diketahui. Lihat Gilles Deleuze dan Félix Guattari, Kafka. Pour un littérature mineure, Paris 1975, h. 75; dan tulisan saya ‘Noevelles considération sur les littératures mineures’, Littérature classique, no. 31, 1997, h. 233–47.
[24] Braudel, Civilization and Capitalism, 15th–18th century: Volume III, The Perspective of the World, London 1984, h. 68; Civilisation matérielle, vol. 3, h. 9.
[25] Lihat perdebatan mengenai masalah krusial ini yang berlangsung di Amerika Latin sejak 1960-an dan direkonstruksi dengan bagus oleh Efraín Kristal dalam ‘Considering Coldly …’ NLR 15, Mei – Juni 2002, h. 67 – 71. Di sini bisa kita lihat dengan jelas bahwa peran agen-agen transformasi sosial dan politik, terutama yang disandangkan pada para penulis ‘boom’, umumnya ilusif semata.
[26] August Strindberg sejenak menjadi ‘penulis Perancis’ antara 1887 hingga 1897, menulis Le Plaidoyer d’un fou danInferno langsung dalam bahasa Perancis demi pengakuan internasional.
[27] Fuentes, Geografia de la novela, Madrid 1993, h. 218.
[28] Dalam Autobiography, Darío menulis: ‘Aku memimpikan Paris sejak masih bocah, sampai-sampai ketika berdoa aku memohon kepada Tuhan agar tidak membiarkanku mati tanpa melihat Paris. Bagiku Paris seperti surga di mana orang bisa menghirup saripati kebahagiaan duniawi.’ Obras completas, Madrid 1950 – 55, vol. 1, h. 102.
[29] Yang oleh Perry Anderson disebut ‘sebuah deklarasi kemerdekaan kultural’: The Origins of Postmodernity, London dan New York 1998, h. 3.
[30] Analisis Efraín Kristal tentang masalah ini sangat menjelaskan dan sepenuhnya meyakinkan. Tetapi agaknya dia meyakini bahwa ide pemanfaatan atau pembelokan bertentangan dengan ide emansipasi. Apa kita tidak bisa, sebaliknya, mengemukakan hipotesis bahwa pembelokan awal ini (diperlukan kalau memang benar bahwa tidak ada revolusi simbolis yang bisa terjadi tanpa sumber daya) memungkinkan sebuah pembaruan kreatif? Setelah Rubén Darío memainkan peran akselerator estetis, modernismotentu menjadi gerakan puitis Hispanik yang sepenuhnya terpisah, menemukan kode dan normanya sendiri tanpa rujukan apa pun pada Perancis.
[31] Inilah sebabnya saya sangat menyepakati penegasan Franco Moretti, yang bisa dipakai sebagai motto bagi disiplin yang masih berada pada tahap awal: ‘Tanpa kerja kolektif, sastra dunia tetap akan merupakan fatamorgana’. Lihat ‘More Conjectures’, NLR 20, Maret–April 2003, h. 75.

Sumber : Gurat Cipta